Alat musik ini sangat populer sejak zaman Kalingga, dan masih terus eksis hingga saat ini. Sayangnya, tidak semua generasi muda mengetahui alat musik karawitan, terlebih di tengah gempuran modernisasi di Indonesia. Tetapi hal itu tidak membuat semangat Rara luntur untuk melestarikan seni bermusik ini. Perempuan yang masih aktif menabuh Saron itu dengan semangatnya tetap mengikuti perlombaan dan kegiatan yang berkaitan dengan karawitan. Dengan bangganya, ia memamerkan kemampuan menabuhnya di setiap pertunjukan yang dihadirinya.
Entah motivasi apa yang membuatnya tetap ingin melestarikan seni tersebut, namun satu hal yang paling ia ingat adalah raut bahagia ibunya ketika menabuh Peking, salah satu alat musik karawitan. Ternyata sedari belia, ia sudah dikenalkan dengan alat musik tersebut dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mempelajarinya.
Dengan bimbingan dari kedua orang tuanya, di umurnya yang ke-10 tahun ia sudah mampu menguasai alat musik Saron dan Peking. Mungkin banyak orang yang bertanya untuk apa Rara tetap mendalami seni musik karawitan, padahal banyak alat musik modern. “Kalau semua orang hanya mau belajar alat musik modern, terus siapa yang akan memperkenalkan alat musik ini ke anak cucu kita? Nanti nggak ada yang melestarikan, terus di klaim negara tetangga malah marah-marah”, ujarnya dengan menggebu-gebu.
Dulunya, Rara tergabung dalam suatu kelompok seni karawitan yang berjumlah kurang lebih 14 orang. Komunitas tersebut lebih dikenal sebagai "Luminthu Jaya". Kata Luminthu sendiri berarti rezeki yang terus mengalir. Mungkin pendiri dari komunitas tersebut ingin anggotanya mendapatkan rezeki dan pengalaman yang banyak dari aktivitas gamelannya.
Seingatnya, semasa SMP dulu ia sangat aktif dan mulai bergabung dengan komunitas tersebut. Latihan diadakan dua kali dalam seminggu dengan durasi satu jam. Jadi, setiap pulang sekolah ia sempatkan untuk berkumpul bersama komunitasnya.
Namun, ia memutuskan untuk keluar setelah 6 tahun mengabdi pada komunitasnya. Alasan utama vakumnya adalah karena kesibukan kuliah.
"Tapi kalau ada waktu luang, biasanya masih sering main gamelan sama muridnya ibu", tambahnya. Keikutsertaannya dalam perkumpulan tersebut membuatnya memiliki banyak teman dan koneksi yang luas.
Menurut pengakuannya, uang yang dihasilkan dari setiap penampilannya tidak seberapa besar. "Biasanya tiap tampil dibayar 100 ribu per-orang. Nggak banyak sih, tapi paling penting ya dapet pengalaman dan euphoria juga", ungkap Rara.
"Dulunya ibu dibayar 75 ribu setiap pentas, kalau di tahun 2001 ya uang segitu sudah lumayan besar", ucap Bu Herlin, ibu Rara yang pernah menjadi sinden dan pemegang Peking di komunitasnya.
Minat anak muda untuk mempelajari alat musik ini sangatlah rendah. Selain itu, penampilan musik karawitan jarang ditemui lagi sehingga kesempatan anak muda untuk mengeksplorasi seni tersebut sangat minim.
Menurut pendapat Rara, untuk melestarikan seni musik ini tidaklah mudah. Dibutuhkan kesadaran dan kemauan tiap individu untuk mempelajari dan tertarik dengan karawitan.
"Kan sekarang lagi marak tiktok tuh, mungkin aja tiktok bisa jadi platform yang ampuh buat mempromosikan alat musik ini. Nanti bikin sesuatu yang unik, tapi ada unsur gamelan di dalamnya", ujar Rara ketika ditanya mengenai cara yang tepat untuk mengenalkan alat musik ini kepada orang awam atau generasi muda.
Mungkin perjuangan Rara untuk tetap melestarikan alat musik Karawitan tidak terlalu besar. Namun, ia tetap berharap jika suatu saat Karawitan dapat kembali populer di Indonesia. Lebih lagi jika bisa mendapat kesempatan untuk tampil di luar negeri dan dikenal oleh negara lain bahwa Karawitan merupakan alat musik asli dari Indonesia.
0 Comments:
Posting Komentar